Bulan Oktober dikenal sebagai Bulan Bahasa.
Disebut demikian, karena pada bulan tersebut terjadi peristiwa Hari Sumpah
Pemuda pada 28 Oktober 1928. Dalam peristiwa itu, para pemuda dari berbagai
daerah mengikrarkan diri pada satu simpul: Sumpah Pemuda yang berisikan
pengakuan satu bangsa, bangsa Indonesia; satu tanah air, tanah air Indonesia;
dan satu bahasa, bahasa Indonesia. Atas dasar itu, barangkali bulan Oktober
dikenal sebagai Bulan Bahasa.
Terlepas dari kenyataan historis di atas,
ternyata masih ada sebagian di antara kita yang belum mengetahui adanya Bulan
Bahasa. Kalau pun mereka tahu, biasanya lebih bersikap acuh tak acuh, tak ambil
peduli. Meminjam kata-kata anak muda saat ini, mereka seolah berujar,
"Bulan Bahasa penting nggak sih?!" Ujaran semacam ini, dapat
menggambarkan betapa ketidakpedulian mereka terhadap nasib bahasa Indonesia,
selain juga menunjukkan sikap diri mereka yang egois.
Untuk itu HMJ PBSI (Himpunan
Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia) Unisda Lamongan mengadakan
sejumlah kegiatan guna mengingatkan kepada seluruh elemen masyarakat betapa
pentingnya bulan bahasa.
Bertepatan tanggal 31 Oktober 2015 HMJ
PBSI melaksanakan peringatan bulan bahasa sekaligus sumpah pemuda dimulai
dengan bedah buku kumpulan cerpen “Membaca Hati” karya Eny Martha, yang akan
dibedah oleh mahasiswa semester 7 Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
Karna penulis buku adalah orang Lamongan sendiri dan banyak latar-latar yang
diceritakan pada buku tersebut adalah di daerah Lamongan, “saya juga orang Lamongan aja bisa menulis buku seperti ini masak alian
yang di jurusan bahasa dan sastra Indonesia harus lebih terampil lagi dalam
menulis” berikut kata penulis buku Membaca Hati ini memberikan semangat
kepada para peserta bedah buku.
Bedah buku selesai pada pukul 12.00
WIB kemudian dilanjut gowes ke
alun-alun Lamongan. Bersama seluruh mahasiswa Bahasa dan Sastra Unisda mencari
masyarakat umum untuk membacakan sumpah pemuda sebagai bentuk partisipasi bulan
bahasa. Mulai dari berbagai golongan masyarakat di sekitar alun-alun seperti
penjual, anak-anak, pelajar, pejabat, tambal ban, penjual kue leker, pengamen,
muda-mudi pacaran dan masih banyak lagi.
Akhirnya acar yang disebut GCB
(Gerakan Cinta Bahasa) ini ditutup dengan apresiasi seni dari berbagai peserta
mulai dari baca puisi, monolog, orasi ilmiah dan lain-lain. (Sy)